Rabu, 28 September 2016

"Tolong.. Bicaralah.."

Jika waktu itu adalah hal terbaik yang kamu beri, aku berharap.. aku tak sehina itu di mata mu sehingga kamu relakan waktu mu yang berharga untuk gadis yang tak punya apa-apa.

Kata maaf yang tak hentinya menyeru dalam benak, serta kata terimakasih yang sulit terucap. Dua kata yang penting, tapi tak tahu mana yang harus benar-benar terucap. Pikiran ini hanya mendoktrin kata maaf, tapi hati ini menangis untuk mengucapkan terimakasih yang tulus.

Kamu.. nama mu yang tak mudah untuk diucapkan sejak itu dan hingga kini. Perasaan ku yang sulit terlepas dari keberadaan mu yang diilusikan waktu. Bayang yang lewat, waktu yang berlalu, perasan yang tak menentu, ku harap itu memang bukan palsu. Meski ingin mendapatkan kata itu dari mu, tapi aku tahu betapa melelahkannya dirimu menanggapi ku.

Aku ingin berseru dan menangis di depan mu agar kamu tahu bahwa aku begitu sulit. Tapi, selayaknya kamu yang tak tahu keberadaan ku setelah itu, begitupun juga aku yang tak tahu lagi tentang mu setelah itu. Sempat ku berpikir untuk kembali seperti dulu. Tapi aku takut, terlalu takut untuk memulai, terlalu takut bahwa itu salah, terlalu takut bahwa kamu tak menginginkannya, terlalu takut kamu telah membenci ku, terlalu takut membayangkan bahwa kamu tak ingin dunia mu diisi oleh ku, terlalu takut akan semakin banyak penyesalan yang ada. Aku terlalu takut, terlalu takut untuk mengatakan semuanya. Berharap kamu tahu, berharap kamu memberiku jawaban atas pertanyaan yang tak bisa ku ungkap. Rasanya begitu dekat tapi terhalang ilusi. Ntah ilusi apa yang menenggelamkan ruang yang seharusnya ada.

... bisakah aku menjadikan mu tempat yang nyaman lagi untuk ku?
.. masih ingatkah kau berjanji untuk tak menginggalkan ku? Aku tak tahu malu, setelah apa yang ku lakukan aku masih berharap janji mu. Aku tak merendahkan mu dan selalu yakin bahwa keberadaan mu adalah benar seperti yang ku pikir dan semua itu adalah hal baik tentang mu.
.. bicaralah pada ku.
Tolong, hancurkan kelam yang ada pada ku.
Ku mohon..
Jangan tinggalkan aku sendiri..
Meski kecewa mu tak terbayang oleh ku, tapi ku mohon..
Jangan tinggalkan aku sendiri dan membenci ku, seperti janji mu..

Bicaralah..

Senin, 19 September 2016

"Terimakasih"

            “Aku cuma bisa dapat 8”
            Ren mengawasi ku dari jauh, “itu sudah lebih dari cukup”
           Di tepi pantai yang selalu kami kunjungi, merasakan hembusan angin dan menikmati desiran ombak adalah kebiasaan kami. Namun cukup berbeda untuk kali ini. Kami mengumpulkan kerang yang memiliki corak warna biru dan meninggalkan jejak jantung bila dihempaskan ke pasir. Apa itu hal yang aneh? Mungkin tidak untuk kami.
            “Kamu gak kepanasan?”, Ren menghampiri ku dan membentuk bayangan yang menjatuhi ku.
            “Mm, lumayan”
            Untuk beberapa saat aku merasa kehilangan massa badan ku. Tanpa bisa memikirkan apa yang terjadi, aku terhuyung di atas pasir pantai yang terpapar sinar terik matahari.
            Ren sedikit lambat menyadari keadaan ku hingga aku pun terjatuh pingsan. Dengan sigap setelah mendapati kesadarannya, Ren pun menggendongku dan membawa ku tempat yang sejuk dibawah pohon.
“Seharusnya kamu gak maksain diri kalo emang gak kuat”
Dari sisa kesadaran yang ada aku dapat merasakan desah nafas Ren yang begitu berat setelah menggendongku. Dalam hati aku hanya bisa berbisik maaf untuk Ren dan semoga dia akan baik-baik saja. Tanpa memikirkan keadaan ku kala itu, aku lebih memikirkan keadaan Ren setelah menggendong ku. Bukan maksud ku untuk menilai Ren sebagai laki-laki yang lemah hanya karena menggendong ku. Tapi, keadaan Ren saaat itu tidak memungkinkan dia untuk bekerja berat, seperti menggendongku misalnya.
Dalam keadaan terbaring aku berusaha untuk mengatur nafas ku. Aku ingin memastikan keadaan Ren dan tak ingin membuatnya khawatir. Saat aku berusaha untuk mengembalikan keadaan ku, aku merasakan sentuhan Ren diseluruh wajah ku. Ren mengusapi seluruh wajah ku yang berkeringat dan menyingkirkan helaian rambut ku yang lengket. Aku ingin melihat tatapan Ren, tapi rasanya aku sendiri belum bisa membuka mata ku. Tangan Ren membenahi baju ku yang berantakan karena terjatuh tadi. Itu kali pertama aku merasakan sentuhan orang lain selain keluarga ku, yang begitu lembut merawat ku. Aku benar-benar merasa nyaman dan tidak keberatan jika itu adalah Ren.
Berbaring diatas pangkuan Ren, terlihat seperti aku yang manja pada laki-laki yang harusnya bisa ku manjakan. Aku begitu lemah dan bodoh untuk bersikap yang seharusnya pada laki-laki. Tapi lebih dari itu aku merasakan tanggung jawab Ren atas diri ku, yang ingin menjaga ku dan menyangi ku seperti yang ia bisa. Apalagi yang lebih baik dari itu ketika yang dibicarakan adalah tentang keberadaan laki-laki dan perempuan di dunia fana ini?
Ren, seharusnya aku berterimakasih untuk itu kan?
Kesejukan senja mulai menghampiri dan jingga pun mulai bermunculan dari persembunyiaannya. Hangat yang sejuk, indah dan ingin dikenang. Mungkin itulah yang aku rasakan kala itu ketika aku sudah mendapatkan kendali atas diri ku sendiri.
“Gak apa-apa cuma 8?”, aku dan Ren duduk bersebelahan menatap langit jingga di atas berugak beratap ilalang yang ada di tepi pantai.
“Iya, malah seharusnya kamu gak perlu ngelakuin itu.”
Ren menatap kudengan tatapan yang tak bisa ku definisikan. Tatapan Ren kala itu begitu berbeda dari yang biasanya ia tunjukkan untuk ku. Hati ku tiba-tiba terasa membeku, seakan ditahan benda berat dan dada ku menjadi begitu sesak.
Ren berdiri dihadapan ku ketika aku mulai berdiri, “Kita pulang.”
“Mm”
Tanpa sadar aku merasakan suhu badan Ren, merasakan dekapannya dan mendengarkan detak jantungnya. Mata ku terpejam hanyut dalam hangatnya pelukan Ren. Tak ada yang bisa ku pikirkan ataupun ingin ku lakukan. Dalam pelukan Ren aku terdiam, menikmati aroma tubuh yang sudah membuat ku terbiasa, mendengarkan irama detak jantung yang tak pernah ku dengar sebelumnya, merasakan kesejukan alam yang menyelinap diantara pelukan Ren yang hangat, merasakan tatapan langit yang tajam atas keberadaan kami dibawah kolongnya. Aku bahagia.. aku bahagia.. aku bahagia... Aku bersyukur atas segala hal yang telah membiarkan ku merasakan ini, bersyukur atas keberuntungan yang diberikan kepada ku, bersyukur atas kehadiran Ren dalam hidup ku, bersyukur menjadi aku yang seperti ini.

Ren, seharusnya aku bisa mengucapkan terimakasih secara langsung untuk mu dengan benar kan?

Kamis, 15 September 2016

Kita Berdua


Hanya kita, yang tahu arti tatapan itu
Hanya kita, yang tahu makna lambaian tangan itu
Hanya kita, yang tahu keberadaan cerita itu
Hanya kita..

Hanya kita berdua.

Kamis, 01 September 2016

Angin

Pembawa pesan yang tak pasti namun selalu menjadi andalan untuk mereka yang tak punya kekuatan.


Diatas tanah tempat ku tumbuh dan berkembang menjadi gadis yang masih berada dalam prakiraan, disini aku selalu mengandalkan mu. Tak terhitung berapa pesan yang telah ku kirimkan dan tanpa peduli itu tersampaikan. Aku penuh dengan kesedihan dan aku telah meminta untuk bisa terus menangis seumur hidupku karena ku rasa aku tak bisa hidup tanpa tetesan-tetesan air mata yang sepenuhnya mewakili perasaan ku. Cinta yang tak terbantah dan terlukai dengan kehadiran harapan ku itu hanya bisa ku persembahkan maaf. Tanpa kekuatan aku ingin menitip pesan..
“Teruslah menjadi lebih baik.. Aku yakin kau (kalian) baik disana dan jika kau (kalian) dalam keadaan tak baik maka aku pun yakin ada tempat dan waktu (serta seseorang) yang mampu membuat kau (kalian) lebih baik. Apapun yang terjadi adalah hal terbaik yang diberikan Tuhan, tak peduli seburuk apapun itu dimata dunia. Bila waktu kita masih ada, pasti ada tempat disana untuk kita bertemu.”

Angin.. bawalah selalu pesan ku kemanapun kau berhembus. Mungkin di jalan yang kau lalui akan ada dia yang menjadi penerimanya dan ada mereka yang mengharapkan sedikit semangat ku yang bisa jadi akan berguna.