Rabu, 13 Januari 2016

BENCI X CINTA

Tiba-tiba keinget sama kalimat kebanggaan hasil renungan dulu, “membenci untuk mencintai dan mencintai untuk membenci”. Sebenarnya jika kalimat itu tak baca berulang-ulang jadi bingung juga arti sebenarnya dari susunan kalimat itu. Tapi yang jelas dulu kalimat itu tak artiin kayak gini, untuk frase kalimat pertama “membenci untuk mencintai” diartiin sebagai : membenci sesuatu itu karena terlalu mencintai, hal itu harus dibenci jika memang kita mencintai hal itu atau membenci sesuatu karena kita melakukannya demi orang yang kita cintai. Dan untuk frase kalimat kedua “mencintai untuk membenci” berarti : mencintai sesuatu meski nyatanya kita membenci hal itu karena itu  demi orang yang kita cintai. Cukup membingungkan? Iya, saya juga bingung sebenarnya. Tapi saya gak pernah lupa penyebab serta alasan munculnya kalimat itu.
Sedikit cerita tentang alasan kalimat itu dulu begitu saya banggakan.
Note : ini fakta tentang saya, jika anda keberatan maka bergumamlah sendiri dan jangan menyebar fitnah!
Cukup mengenal atau menyebut saya sebagai Devi, si sulung dari 5 bersaudara dimana anak ke-4 meninggal karena kecelakaan dalam kandungan (keguguran). Saya adalah kebanggan dari kedua orang tua yang pendidikannya hanya sampai bangku sekolah menengah. Saya hanya putri seorang pekerja koperasi dan ibu rumah tangga yang membantu suaminya dengan berjualan beberapa kebutuhan tetangga demi memenuhi kebutuhan dan kebahagiaan anak-anaknya. Sejak masa Sekolah Dasar (SD) sampe Sekolah Menengah Atas (SMA) mama selalu mempikan saya menjadi seorang perawat atau bidan, yang jelas mama sangat ingin saya bekerja dibidang medis atau kesehatan. Sebenarnya saya gak mau ngecewain mama, terlebih setiap anak pasti sangat mencintai kedua orang tuanya. Tapi saya terlalu egois untuk banyak hal, apalagi jika itu berkaitan langsung dengan diri saya sendiri. Masalahnya hanya saya yang akan benar-benar tahu bagaimana kehidupan saya berlalu dan bagaimana cara pandang saya terhadap sesuatu. Meskipun saya memiliki orang paling saya percayai, tapi tetap saja seutuhnya hanya saya yang tahu penuh tentang diri saya sendiri. Entah sejak kapan saya membenci pekerjaan medis, bagi saya mereka bekerja diatas penderitaan orang lain. Memang mereka membantu atau menolong bagi kehidupan atau keselamatan orang lain tapi mereka memungut bayaran atas itu bahkan melebihi dari jangkauan orang-orang yang membutuhkan. Memang tak ada yang gratis di dunia ini, hampir tak ada yang tidak menginginkan uang. Tapi ingat, ini adalah pendapat saya dan saya bebas untuk menyampaikan pendapat. Saya gak munafik karena saya juga memang menginginkan uang demi kebutuhan hidup, tapi tetap saja saya membenci profesi di bidang medis. Saya gak mau memperpanjang hal tersebut, cukup saya dan hanya saya yang tahu alasan saya. Mohon maaf sebesar-besarnya bagi anda para pembaca yang merasa tersinggung atau sangat tidak setuju dengan pendapat saya. Tolong baca Note saya lagi diatas. Jadi kesimpulannya saya menolak mengikuti keinginan mama yang begitu besar terhadap saya. Tentu bukan hal mudah untuk menolak mama, tapi saya terus berusaha meyakinkan mama bahwa saya tidak mau. “Mama mau biaya yang mama keluarin sia-sia karena utu ndak suka? Banyak yang sia-sia sekolahnya karena gak sesuai sama keinginan yang ngejalanin sekolanya.” Hal itu hampir terus berulang-ulang saya katakan pada mama, tapi tetap saja mama menyuruh saya untuk mencobanya. Saya anak yang takut untuk membantah kata orang tua apalagi tidak mengikuti hal-hal yang sudah saya yakini. Jadi untuk itu saya tetap mengikuti alur yang sebaiknya saya ikuti meski itu tidak saya mintai, saya selalu yakin bahwa Tuhan akan memberikan hal terbaik bagi setiap umatnya.
Jadi begitulah sedikit cerita tentang latar belakang kalimat kebanggaan saya “membenci untuk mencintai dan mencintai untuk membenci”. Menurut anda gak jelas? Inti dari cerita itu adalah saya terpaksa mengikuti atau mencintai hal yang benci demi orang yang saya cintai, yaitu mama. Dan membenci hal yang saya cintai demi orang yang saya cintai juga, yaitu dalam hal ini mama. Saya sangat mencintai apapun itu yang berkaitan dengan desain, meski belum mahir saya tetap sangat mencintainya. Dan saya juga amat sangat mencintai apapun hal yang berkaitan dengan komputer atai teknologi. Kelanjutan cerita diatas bahwa sebenarnya saya ingin mengambil jurusan kuliah yang berkaitan dengan IT atau Design, tapi ketika itu saya harus menanamkan rasa benci untuk dua hal tersebut karena itu saya lakukan demi orang yang saya cintai. Akhirnya saya mengikuti tes untuk masuk sekolah medis menjadi perawat atau farmasi. Tentu saya berusaha keras mengikuti tes tersebut meski saya membencinya, karena bagaimana pun untuk mengikuti tes itu orang tua saya juga mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Jadi sebagai si sulung yang menjadi kebanggaan orang tua dan tidak ingin mengecewakan dan membuat usaha orang tua menjadi sia-sia, saya berusaha keras untuk tes tersebut. Tapi takdir berkata lain, seperti yang saya katakan bahwa Tuhan akan memberikan hal terbaik bagi umatnya. Saya tidak lolos tes sekolah kesehatan tersebut, dua tes lain yang saya ikuti untuk melanjutkan sekolah selepas masa SMA adalah tes masuk sekolah ikatan dinas dan perguruan tinggi negeri. Ringkasnya, tes sekolah kesehatan karena untuk ahrapan mama, tes sekolah ikatan dinas karena untuk kebahagiaan bapak, tes perguruan tinggi karena saya gak punya pilihan lain dan saya merasa bisa untuk menjalani hal yang saya pilih ini. Dan pada akhirnya saya lolos masuk perguruan tinggi dan masuk 5 besar. Tentu itu hal yang membahagiakan sekaligus menyedihkan karena dua kebahagiaan orang tua saya tidak tercapai. Dalam benak mereka tentu terlintas bahwa saya tidak serius dengan semua tes, melainkan hanya fokus pada tes masuk perguruan tinggi. Mereka memang tidak mengatakannya, tapi tentu anda pun bahkan akan berpikir begitu. Percuma saja saya membela diri karena saya yakin itu sulit untuk dipercaya. Jadi beginilah saya akhirnya yang menjadi mahasiswi perguruan tinggi negeri yang kini akan mengakhiri semester 3 studi.
“Membenci untuk mencintai dan mencintai untuk membenci”, sekali lagi saya membaca kalimat itu. Beberapa menit yang lalu saya teringat dengan kalimat tersebut saat menunjukan rasa bhakti kepada Sang Pencipta. Saya merenungkan banyak hal yang belakangan ini terjadi, sehingga saya menarik kesimpulan bahwa kalimat kebanggaan say aitu memiliki arti lain. Terlalu mencintai sesuatu hingga membuat hal tersebut malah berbalik membenci saya dan saya membenci sesuatu hingga hal tersebut mencintai saya. Contoh nyata yang terjadi bahwa saya membenci seseorang yang sejak beberapa lama cukup dekat dengan saya dan lambat laun kemudian seseorang tersebut justru menjadi mencintai saya. Tentu hal  itu terlalu mengejutkan saya, awalanya saya memang berpendapat demikian tapi melihat kenyataan yang ada saya jadi terus menyangkalnya. Tapi setelah seuma terungkap saya menjadi tidak bisa menyangkanya. Kemudian terlalu banyak kejadian atau seseorang dalam hidup saya yang begitu terlalu saya cintai, tapi perasaan cinta saya akhirnya membuat mereka menjauh dan bisa dibilang malah justru membenci saya. Hal itu sangatlah menyakitkan tapi tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk menghadapi itu kecuali membiarkannya berlalu seperti yang diinginkan waktu. Saya bukannya bermaksud menghendaki hal yang demikian, tapi saya merasa bahwa itu akan lebih baik karena saya rasa itulah yang terbaik untuk mereka yang saya cintai. Seorang teman pernah berkata bahwa saya terlalu memaksakan diri. Saya memang mengakui hal tersebut tapi tidak bisa untuk mengubahnya. Mungkin saya terlalu mencintai diri saya sendiri hingga saya tidak ingin mengubah apapun pada diri saya.
Yang saya tulis memang tidak banyak bermanfaat tapi semoga anda para pembaca bisa memetik manfaat yang tidak banyak itu melalui tulisan ini. Hari ini adalah hari terakhir saya ujian semester dan saya menulis tulisan ini semalam sebelum belajar. Sebagai informasi tambahan bahwa saya bukan tipe orang yang malas untuk belajar, tapi saya adalah tipe orang yang hanya akan melakukan hal yang saya inginkan. Seperti yang saya sebutkan diatas bahwa saya egois dan terlalu mencintai diri saya sendiri. Jadi saya selalu berusaha menyenangkan diri saya sendiri apapun keadaannya dan meski itu saya lakukan dalam bentuk hal-hal kecil ataupun murahan.

It’s me and still me forever.

Minggu, 03 Januari 2016

Hamparan Luas

Awal tahun ini sangat indah dengan kebersamaan kami yang tak terjelaskan serta impian kecil ku yang terkabul. Memandang gemerlap kecil nan jauh di hamparan luas bersama dengan seseorang yang tak pernah terduga. Bersama dengan sentuhan lembut angin dan sunyinya malam dalam keheningan. Luapan emosi yang tak terjelaskan tanpa tahu kata apa yang pantas untuknya. Bahagia. Lebih dari itu semua ini begitu berharga meski hanya hal kecil yang sebenarnya mudah, tapi ini sungguh lebih dari sekedar hal kecil. Harapan tinggi atas impian kecil yang terkabul, semoga kita akan selalu bersama dalam kebahagiaan yang sesederhana ini.
“Kenapa kamu di luar 96?”
Sejenak aku tersenyum mendapati kedua laki-laki yang sangat aku sayangi menatap ke arah ku, “Gak ada tempat lagi di dalam, penuh. Makanya saya disini”
“Kamu gak mau nemenin saya 27?”, goda ku dengan wajah manja.
9276 mendelik, “Males, saya mau tidur, disini dingin.”
“Dihh, cops mu 27! Kalah sama saya”
“Bodo amat 96, saya mau tidur. (9276 menoleh ke arah 9567) Temenin adek mu sana 56, kasian dia ntar di culik..”
“Stop 27!”, ketus ku.
“Jangan nakut-nakutin saya! Malem ni!”, sambung ku.
9276 sedikit terkekeh, “Hati-hati aja 96, ntar..”
“Pergi 27! Saya lemparin sendal ntar kamu!”, ancam ku sambil memegangi sebelah sandal yang siap ku lempar.
Aku baru tersadar 9567 yang disebelah 9276 hanya terdiam sambil sesekali melihat sekeliling ketika  aku mendapati matanya ke arah ku. Entah apa yang dia pikirkan, tapi rasanya dia ingin mengatakan sesuatu.
“Kenapa kamu diem 56?”, akhirnya aku memecah kesunyian dari 9567.
 “Gak kenapa-kenapa, kalian ribut malem-malem orang pada tidur”, jelas 9567 tenang.
“Tu denger 96, kamu ini ribut aja”, 9276 nyengir meledek ku.
Bukan terkadang, tapi terlalu sering aku jengkel jika terlibat dialog dengan 9276, “Kamu juga 27! Gak tau diri.”
9276 hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Jika dialog ini terjadi dalam medsos ekspresi 9276 itu tertulis dengan kata ckckckck.
“Kamu yang gak tau diri 96. Sudah gak punya tempat tidur, ribut malem-malem orang pada tidur, bilang orang gak tau diri lagi. Ckckckck”
“Terserah mu dah 27”, jawab ku kesal.
Aku memalingkan wajah dari mereka tanda kesal dan ngambek yang seperti biasa aku lakukan jika salah satu dari mereka membuat ku jengkel. Sebenarnya tidak ada hal yang benar-benar membuat ku jengkel jika dengan mereka, hanya saja aku tidak ingin terlibat terlalu dalam dengan dialog bersama mereka. Karena pada akhirnya aku sendiri yang terpojok dan jadi bahan ejekan mereka. Meski aku tidak terlalu masalah dengan itu, tapi mereka terlalu suka untuk menggoda dan mengejek ku.
“Saya mau tidur 96, kamu hati-hati dah..”
“Makasi 27!”, ketus ku mencegah kata-kata aneh keluar dari mulut 9276.
“Oke, sama-sama 96”, 9276 berbalik menuju ke tendanya tanpa 9567.
Aku melirik 9567 yang masih berdiri di dekat tendanya.
“Mau saya temenin?”, 9567 memandangi ku dengan tatapan kasihan.
Aku sedikit kaget mendengar pertanyaan 9567, “Terserah kalo mau”
9567 mulai berjalan mendakati ku dan aku pun bergeser untuk menyisakan tempat untuk nya duduk.
Sesaat kami terdiam dalam hening, tapi dikepala ku seperti ada angin ribut yang tak hentinya berputar. Tak ada kata yang bisa ku katakan ataupun hal menarik yang bisa ku ceritakan. Aku terjebak dalam pikiran ku sendiri karena mendapati diri ku berdua disana dengan 9567.
“Kamu suka bintang?”, tanya 9567 sambil memandang langit luas.
Aku menoleh ke arahnya dan menatap wajahnya dengan cepat, “Sangat”
9567 tersenyum melirik ku.
Kami kembali larut dalam hening. Dalam pikiran ku, aku terus bertanya apa yang dipikirkan 9567 dan rasanya aku begitu gugup. Ini bukan pertama kalinya aku hanya berduaan dengan 9567. Sebelumnya di kelas bahkan di luar kelas kami cukup sering duduk berdua. Di kelas kami sering berduaan untuk beberapa hal yang menjadi kesamaan kami. Mulai dari musik yang sama-sama kami minati, hingga ilmu yang sedang kami coba dalami. Begitu banyak kesamaan yang ada diantara kami hingga kami pun menjadi begitu dekat dan selalu bersama. Tidak jauh berbeda dengan kedekatan ku dengan 9276, hanya saja aku begitu tertarik dengan 9276 karena dia adalah sosok sahabat yang sangat baik dan tidak cukup dijelaskan dengan kata “terbaik”. 9276 bisa bergaul dengan siapapun dan diterima dimanapun. Dia sosok yang disegani meski bawaannya santai. Hampir semua yang ku tanyai pendapat tentang 9276 pasti berkata bahwa dia sosok sahabat yang baik, bahkan diantara mereka ada yang memuji ku karena aku begitu beruntung bisa selalu bersama dengan 9276. Meski selalu bersama dengan 9276, aku tidak merasa sedekat itu dengan 9276. Nyatanya aku merasa hubungan ku dengan 9276 bagai dua bintang yang ada di langit. Bagi yang melihat di Bumi dua bintang terlihat sangat dekat, tapi di jagat raya mereka tidak sedekat seperti yang terlihat dari Bumi.
Tanpa sadar aku merebahkan tubuhku dan terus menatap langit. 9567 melirik ku dan seakan ingin mengatakan sesuatu.
“Saya pengen banget tiduran natap bintang kayak gini”, seolah aku ingin meminta ijin kepada 9567.
Pandangan ku tak lepas dari bintang-bintang di langit. Membayangkan bagaimana tiga diantara bintang di atas sana adalah Aku, 9567, dan 9276. Kami terlihat begitu dekat di mata orang lain, tapi rasanya kami tidaklah sedekat itu. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa tentang mereka tapi mereka seperti tahu banyak hal tentang diri ku. Entah itu aku yang mudah tertebak atau aku yang tanpa sadar telah menceritakan banyak hal kepada mereka. Aku tak akan menyesalinya, hanya saja aku berharap bahwa bagi mereka aku sama berharganya seperti mereka bagi ku.
Saat ini aku begitu kagum dan bahagia hingga perasaan itu tidak bisa di ekspresikan oleh apapun yang ada pada ku. Rasanya aku benar-benar menginginkan keadaan ini dan aku tak menyangka akhirnya aku mempunyai kesempatan untuk ini. Menatap bintang-bintang di langit malam sembari berbaring di atas rumput luas. Aku berbaring menatap langit dan 9567 masih terduduk merangkul kedua lututnya menatap langit yang sama.
“Bersyukur kepada Tuhan karena kita dikasi kesempatan untuk menikmati keindahan ini”
Aku mengiyakan kalimat 9567 dalam hati dan tanpa aba-aba 9567 langsung berbaring disampingku beralas tangan kiri untuk kepalanya. Sejenak aku menoleh ke arah 9567 yang tidak melepaskan pandangannya pada langit. Beberapa saat kemudian 9567 menatap ku dengan senyuman. Rasanya begitu damai ketika mata kami bertemu. Aku tidak tahu apa artinya ini, tapi aku tahu bahwa aku tidak menolaknya.
9567 sosok teman yang tidak buruk, seandainya aku tahu lebih banyak tentang 9567, aku yakin dia akan menjadi sosok panutan bagi ku. Hubungan kami hanya sebatas teman dan kami saling mempercayai satu sama lain. Dalam banyak hal kami memiliki minat yang sama dan kesukaan yang sama. Itu bukanlah hal yang disengaja, tapi begitu saja ada sebelum kami sedekat ini. Hanya dengan 9276 dan 9567 lah aku tidak punya alasan untuk menahan diri.
Banyak hal yang sebenarnya ingin aku katakan untuk 9567 tentang rasa syukur ku atas kebersamaan kami dan tentu saja dengan 9276 juga, tentang keberuntungan ku yang bisa berada diantara mereka, tentang harapan dan impian yang ingin ku wujudkan bersama mereka, dan tentang banyak hal yang mebuat ku tak ingin jauh dari mereka.
“Saya sayang kalian dan selamanya saya pengen bareng kalian” [Homofon]

~Tamat~