Tiba-tiba keinget sama kalimat
kebanggaan hasil renungan dulu, “membenci untuk mencintai dan mencintai untuk
membenci”. Sebenarnya jika kalimat itu tak baca berulang-ulang jadi bingung
juga arti sebenarnya dari susunan kalimat itu. Tapi yang jelas dulu kalimat itu
tak artiin kayak gini, untuk frase kalimat pertama “membenci untuk mencintai”
diartiin sebagai : membenci sesuatu itu
karena terlalu mencintai, hal itu harus dibenci jika memang kita mencintai hal
itu atau membenci sesuatu karena kita
melakukannya demi orang yang kita cintai. Dan untuk frase kalimat kedua “mencintai
untuk membenci” berarti : mencintai
sesuatu meski nyatanya kita membenci hal itu karena itu demi orang yang kita cintai. Cukup
membingungkan? Iya, saya juga bingung sebenarnya. Tapi saya gak pernah lupa
penyebab serta alasan munculnya kalimat itu.
Sedikit cerita tentang alasan
kalimat itu dulu begitu saya banggakan.
Note : ini fakta tentang saya, jika anda keberatan maka bergumamlah
sendiri dan jangan menyebar fitnah!
Cukup mengenal atau menyebut saya
sebagai Devi, si sulung dari 5 bersaudara dimana anak ke-4 meninggal karena
kecelakaan dalam kandungan (keguguran). Saya adalah kebanggan dari kedua orang
tua yang pendidikannya hanya sampai bangku sekolah menengah. Saya hanya putri
seorang pekerja koperasi dan ibu rumah tangga yang membantu suaminya dengan
berjualan beberapa kebutuhan tetangga demi memenuhi kebutuhan dan kebahagiaan
anak-anaknya. Sejak masa Sekolah Dasar (SD) sampe Sekolah Menengah Atas (SMA)
mama selalu mempikan saya menjadi seorang perawat atau bidan, yang jelas mama
sangat ingin saya bekerja dibidang medis atau kesehatan. Sebenarnya saya gak
mau ngecewain mama, terlebih setiap anak pasti sangat mencintai kedua orang
tuanya. Tapi saya terlalu egois untuk banyak hal, apalagi jika itu berkaitan
langsung dengan diri saya sendiri. Masalahnya hanya saya yang akan benar-benar
tahu bagaimana kehidupan saya berlalu dan bagaimana cara pandang saya terhadap
sesuatu. Meskipun saya memiliki orang paling saya percayai, tapi tetap saja
seutuhnya hanya saya yang tahu penuh tentang diri saya sendiri. Entah sejak
kapan saya membenci pekerjaan medis, bagi saya mereka bekerja diatas
penderitaan orang lain. Memang mereka membantu atau menolong bagi kehidupan
atau keselamatan orang lain tapi mereka memungut bayaran atas itu bahkan
melebihi dari jangkauan orang-orang yang membutuhkan. Memang tak ada yang
gratis di dunia ini, hampir tak ada yang tidak menginginkan uang. Tapi ingat,
ini adalah pendapat saya dan saya bebas untuk menyampaikan pendapat. Saya gak
munafik karena saya juga memang menginginkan uang demi kebutuhan hidup, tapi
tetap saja saya membenci profesi di bidang medis. Saya gak mau memperpanjang
hal tersebut, cukup saya dan hanya saya yang tahu alasan saya. Mohon maaf sebesar-besarnya
bagi anda para pembaca yang merasa tersinggung atau sangat tidak setuju dengan
pendapat saya. Tolong baca Note saya
lagi diatas. Jadi kesimpulannya saya menolak mengikuti keinginan mama yang
begitu besar terhadap saya. Tentu bukan hal mudah untuk menolak mama, tapi saya
terus berusaha meyakinkan mama bahwa saya tidak mau. “Mama mau biaya yang mama keluarin sia-sia karena utu ndak suka? Banyak
yang sia-sia sekolahnya karena gak sesuai sama keinginan yang ngejalanin
sekolanya.” Hal itu hampir terus berulang-ulang saya katakan pada mama,
tapi tetap saja mama menyuruh saya untuk mencobanya. Saya anak yang takut untuk
membantah kata orang tua apalagi tidak mengikuti hal-hal yang sudah saya
yakini. Jadi untuk itu saya tetap mengikuti alur yang sebaiknya saya ikuti
meski itu tidak saya mintai, saya selalu yakin bahwa Tuhan akan memberikan hal
terbaik bagi setiap umatnya.
Jadi begitulah sedikit cerita
tentang latar belakang kalimat kebanggaan saya “membenci untuk mencintai dan
mencintai untuk membenci”. Menurut anda gak jelas? Inti dari cerita itu adalah
saya terpaksa mengikuti atau mencintai hal yang benci demi orang yang saya
cintai, yaitu mama. Dan membenci hal yang saya cintai demi orang yang saya
cintai juga, yaitu dalam hal ini mama. Saya sangat mencintai apapun itu yang
berkaitan dengan desain, meski belum mahir saya tetap sangat mencintainya. Dan
saya juga amat sangat mencintai apapun hal yang berkaitan dengan komputer atai
teknologi. Kelanjutan cerita diatas bahwa sebenarnya saya ingin mengambil
jurusan kuliah yang berkaitan dengan IT atau Design, tapi ketika itu saya harus
menanamkan rasa benci untuk dua hal tersebut karena itu saya lakukan demi orang
yang saya cintai. Akhirnya saya mengikuti tes untuk masuk sekolah medis menjadi
perawat atau farmasi. Tentu saya berusaha keras mengikuti tes tersebut meski
saya membencinya, karena bagaimana pun untuk mengikuti tes itu orang tua saya
juga mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Jadi sebagai si sulung yang menjadi
kebanggaan orang tua dan tidak ingin mengecewakan dan membuat usaha orang tua
menjadi sia-sia, saya berusaha keras untuk tes tersebut. Tapi takdir berkata
lain, seperti yang saya katakan bahwa Tuhan akan memberikan hal terbaik bagi
umatnya. Saya tidak lolos tes sekolah kesehatan tersebut, dua tes lain yang
saya ikuti untuk melanjutkan sekolah selepas masa SMA adalah tes masuk sekolah
ikatan dinas dan perguruan tinggi negeri. Ringkasnya, tes sekolah kesehatan
karena untuk ahrapan mama, tes sekolah ikatan dinas karena untuk kebahagiaan
bapak, tes perguruan tinggi karena saya gak punya pilihan lain dan saya merasa
bisa untuk menjalani hal yang saya pilih ini. Dan pada akhirnya saya lolos
masuk perguruan tinggi dan masuk 5 besar. Tentu itu hal yang membahagiakan
sekaligus menyedihkan karena dua kebahagiaan orang tua saya tidak tercapai.
Dalam benak mereka tentu terlintas bahwa saya tidak serius dengan semua tes,
melainkan hanya fokus pada tes masuk perguruan tinggi. Mereka memang tidak
mengatakannya, tapi tentu anda pun bahkan akan berpikir begitu. Percuma saja
saya membela diri karena saya yakin itu sulit untuk dipercaya. Jadi beginilah
saya akhirnya yang menjadi mahasiswi perguruan tinggi negeri yang kini akan
mengakhiri semester 3 studi.
“Membenci untuk mencintai dan
mencintai untuk membenci”, sekali lagi saya membaca kalimat itu. Beberapa menit
yang lalu saya teringat dengan kalimat tersebut saat menunjukan rasa bhakti
kepada Sang Pencipta. Saya merenungkan banyak hal yang belakangan ini terjadi,
sehingga saya menarik kesimpulan bahwa kalimat kebanggaan say aitu memiliki
arti lain. Terlalu mencintai sesuatu
hingga membuat hal tersebut malah berbalik membenci saya dan saya membenci
sesuatu hingga hal tersebut mencintai saya. Contoh nyata yang terjadi bahwa
saya membenci seseorang yang sejak beberapa lama cukup dekat dengan saya dan
lambat laun kemudian seseorang tersebut justru menjadi mencintai saya. Tentu
hal itu terlalu mengejutkan saya,
awalanya saya memang berpendapat demikian tapi melihat kenyataan yang ada saya
jadi terus menyangkalnya. Tapi setelah seuma terungkap saya menjadi tidak bisa
menyangkanya. Kemudian terlalu banyak kejadian atau seseorang dalam hidup saya
yang begitu terlalu saya cintai, tapi perasaan cinta saya akhirnya membuat mereka
menjauh dan bisa dibilang malah justru membenci saya. Hal itu sangatlah
menyakitkan tapi tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk menghadapi itu
kecuali membiarkannya berlalu seperti yang diinginkan waktu. Saya bukannya
bermaksud menghendaki hal yang demikian, tapi saya merasa bahwa itu akan lebih
baik karena saya rasa itulah yang terbaik untuk mereka yang saya cintai. Seorang
teman pernah berkata bahwa saya terlalu memaksakan diri. Saya memang mengakui
hal tersebut tapi tidak bisa untuk mengubahnya. Mungkin saya terlalu mencintai
diri saya sendiri hingga saya tidak ingin mengubah apapun pada diri saya.
Yang saya tulis memang tidak
banyak bermanfaat tapi semoga anda para pembaca bisa memetik manfaat yang tidak
banyak itu melalui tulisan ini. Hari ini adalah hari terakhir saya ujian
semester dan saya menulis tulisan ini semalam sebelum belajar. Sebagai
informasi tambahan bahwa saya bukan tipe orang yang malas untuk belajar, tapi
saya adalah tipe orang yang hanya akan melakukan hal yang saya inginkan. Seperti
yang saya sebutkan diatas bahwa saya egois dan terlalu mencintai diri saya
sendiri. Jadi saya selalu berusaha menyenangkan diri saya sendiri apapun
keadaannya dan meski itu saya lakukan dalam bentuk hal-hal kecil ataupun
murahan.
It’s me and still me forever.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar