Tak ada kata yang bisa ku katakan
dan serupa dengan itu pun isak ku tak bisa menyeruak kembali. Perih yang
ditahan dan rasa yang diibunuh. Akankah itu menjadi sebuah kesalahan yang lain?
Dua mata ku memang tak normal, tapi benarkah yang lainnya serupa dengan itu? Aku
ingin berangkat untuk mengetahuinya, tapi aku tak bisa. Masih berjuang tuk
melawan meski tak jelas apa yang ku lawan dan apa yang ku tahan. Rasanya aku
ingin lenyap, dari apapun yang disebut keberadaan dan dari kapan pun saat itu
ada. Menghujani bumi dengan segala bentuk emosi dan membumbungkan segala angan
pada langit luas. Aku tak berpijak pada bumi maupun menggantung di angkasa. Aku
hanya mengapung diantara bumi dan langit. Menatap sekeliling, merasakan angin
yang berhembus, menikmati segala rasa yang ada dalam atmosfer kehidupan,
menerka kejadian yang bisa terjadi bersamaan. Dengan memejamkan mata dan
berfokus pada satu hal. Menahan nafas. Hembuskan. Akankah hembusan itu terjadi
bersamaan pada hampir semua manusia yang ada di bumi? Ketika memikirkannya aku
mulai menerka ada berapa banyak manusia yang menjadikan detik itu sebagai
hembusan nafasnya yang terakhir, ada berapa banyak manusia yang berjuang hidup
didetik itu, ada berapa manusia yang baru memulai menghembuskan nafasnya di
dunia, ada berapa banyak manusia yang mengalami ketakutan, merasakan
ketidaknyamanan, merasa di luar batasan, kebahagian, suka ria tak terhingga,
dan menangis sendiri dalam hiruk pikuk kehidupan yang terus berjalan. Seakan ku
bercermin pada apapun yang ada di hadapan ku, tapi pandangan ku tak ku biarkan berada
disana. Begitu sulit untuk terus berpikir ketika dada ini sesak saat
merasakannya. Tapi aku selalu bersyukur ketika apapun rasa yang terjadi pada
ku. Aku bersyukur bisa merasakannya sehingga aku pun tahu mengapa ada orang
lain di luar sana yang melakukan hal-hal tak lazim atau pun terlalu lazim
karena perasaan-perasaan itu. Bunuh diri karena tak kuat menjalani hidup,
membunuh saingan cinta hanya karena api cemburu, mengkonsumsi narkoba karena
depresi, memakan bagian tubuhnya sendiri, membantai anggota keluarganya, dan
membakar atau mengubur dirinya sendiri hidup-hidup. Waw, apa itu terdengar
mengerikan? Selain itu aku tentu pernah merasakan suka cita dan cinta. Ketika seluruh
dunia rasanya hanya milik ku dan dirinya sehingga kami pun bebas untuk melakukan
apapun. Seakan segala yang ada pada ku akan ku berikan untuknya. Apapun yang ku
bisa akan ku lakukan hanya untuknya. Setiap waktu yang ku punya hanya untuk
bersamanya. Segala hal yang ku lakukan adalah atas namanya. Terlalu lazim
bukan? Ya, begitulah yang ku rasakan sejauh aku hidup. Melewati masa-masa sulit
dan juga indah. Pernahkah terpikir bahwa semua ini adil dan akan selalu selaras
atau sebanding dengan apa yang sudah dan akan kita rasakan? Semua tergantung
pada diri masing-masing. Seberapa kekuatan yang kamu punya, bagaimana kamu
bersyukur, seberapa kuat kamu yakin atas segala hal yang diberikan kepada mu,
serta seberapa kuat keyakinan mu akan semua itu. Aku selalu percaya apa yang ku
yakini adalah hal yang akan menjadi milik ku. Tak percaya? Cobalah untuk
menemukan jawaban itu sendiri.
Kini aku berada di bagian bawah roda
kehidupan, tanpa siapapun yang ku rasa bisa membuat ku merasa lebih baik. Aku diam
dan berusaha berpikir, tapi sepertinya aku lebih banyak menghabiskan waktu ku untuk
tertidur dan membiarkan pikiran ku kosong. Setiap manusia memiliki caranya
sendiri untuk mengatasi rasa sakit yang dimilikinya. Aku ingin terbaring diatas
padang rumput dan menatap langit, tak peduli itu siang ataupun malam. Aku ingin
menyatu dengan suasana saat itu. Ku harap aku masih memiliki waktu untuk
menikmatinya. Pergi mungkin berarti sakit bagi yang ditinggalkan, tapi pergi
itu juga berarti sebuah harapan bahwa akan bertemu lagi. Tak peduli pada ruang
dan waktu yang akan mempertemukannya kembali. Ketika keyakinan itu kuat maka
itulah yang akan terjadi. Hanya mampu berbicara melalui doa dan harapan serta
keyakinan yang menguatkan mereka.
Kita akan bertemu lagi.