“.. I
got all I need when I got you and I, I look around me and see a sweet life, I’m
stuck in the dark but you’re my flashlight, You getting me getting me through
the night..”
“Hai, Vi!” Ren
membuyarkan lagu ku.
“Oh, ayolah
Ren.. Haruskah kamu selalu hadir disaat suara indah ku memenuhi dunia?” Aku
mencabut kedua earphone dari telinga
ku dan meletakkannya di meja.
Ren tersenyum
geli dan menghampiri ku yang merajuk di ranjang, “Ohisashiburi ne..”
“What?!”, aku belum begitu menguasai
bahasa Jepang dan tentu saja itu berlaku sebaliknya bagi Ren.
Ren adalah
segalanya bagi ku. Dia adalah teman, sahabat, musuh, saudara, orang asing,
guru, orang tua, bahkan pacar, dan selingkuhan. Aneh kan? Begitulah kenyataan
yang ku rasakan kapan pun aku bersama atau pun terpisah dengan Ren. Waktu yang
kami lalui bersama tak bisa dikatakan sedikit maupun banyak, tapi kami merasa
mengenal satu sama lain lebih baik dari mereka yang ada disekitar kami. Kepercayaan
yang menjadi dasar hubungan kami dan pengkhianatan adalah larangan yang tak
terdoktrin dan tak akan ada dalam perjalanan kami. Bersama melewati waktu yang
berjalan, menapaki jejak pada bumi, dan sesekali menatap langit penuh kagum.
Bukan hal mudah untuk kami terus bersama, tapi tak sulit juga bagi kami untuk
saling berbagi. Dimanapun, kapanpun, dan apapun, selalu ada yang akan menjadi
bagian dari kami.
Ren menatap
langit-langit kamar ku, “udah lama kita gak natap bintang bareng.”
Sesaat aku
melirik mata Ren dan kemudian ikut menatap langi-langit kamar ku yang dilapisi
cat warna biru pucat.
“Mm, udah
lama..” aku berbaring tanpa mengalihkan pandangan ku dan Ren pun melakukan hal
yang sama.
“Bukannya
bulan depan ada dark sky?”, tanya ku
kegirangan setelah tersadar dengan hal yang ku lupakan.
Setelah
menyadari sikap ku yang kegirangan seolah teringat akan hal yang harusnya tak
ku lupakan, Ren kemudian menatap ku dengan tajam.
“Kamu
melupakannya?”
Aku terdiam
sejenak seolah tatapan Ren itu mengikat ku sejak pertama kali dia mengalihkan
pandangannya dari langit-langit kamar ku.
“Hehe.. aku
gak lupa kok, buktinya itu tadi aku sebut”
Ren menatap
langit-langit lagi, “kamu gak berubah.”
Aku tak
mengalihkan pandangan ku dari Ren. Perasaan yang ku miliki untuk Ren tak pernah
bisa ku mengerti. Terkadang aku mengartikannya sebagai cinta, tapi tak jarang
pula itu berarti kejahatan. Diawal pertemuan ku dengan Ren tujuan ku hanyalah
untuk mencari hal istimewa darinya yang ku pikir akan berguna jika aku bisa mengenalnya
lebih jauh. Dan sejak saat itu terlalu banyak hal yang mulai ku ketahui tentang
Ren, hingga sekarang kami pun menjadi sedekat ini. Tak sedikit yang mengatakan
bahwa kami bertemu untuk ditakdirkan bersama dan hati ku pun tak menolak hal
itu. Tapi, kami berdua sama-sama tahu bahwa ada tembok besar yang menghalangi
kami dan itu terlalu tinggi untuk bisa kami panjati untuk kemudian berdiri
bersama dipuncaknya. Kami pun sama-sama tak ingin membahas apalagi menyinggung
keberadaan tembok itu. Selama kami masih memiliki waktu bersama, kami ingin
menikmatinya.
“Ren..”
Ren
mengalihkan pandangannya pada ku.
“Apa Doraemon itu bisa diciptain di dunia
nyata?” aku menatap langit-langit dengan hampa.
Ren melakukan
hal yang sama, “Bisa jadi, tunggu abad ke-22”
“Apa kita bisa
hidup sampai Doraemon itu ada?”
“Kita bisa
hidup sebagai orang yang berbeda disaat itu tiba.”
Reinkarnasi. Itulah hal yang disinggung
Ren dan aku tahu itu dengan baik. Kami belum pernah membahas hal itu dengan
dalam, tapi aku merasa tahu itu cukup dalam. Terlahir kembali di dunia sebagai
manusia adalah hal yang patut disyukuri oleh umat manusia, karena hasil
perbuatan pada kehidupan sebelumnya tak selalu menjadikan manusia terlahir
kembali sebagai manusia. Apa yang kita tanam, itulah yang kita petik. Begitulah
sederhananya hukum karma yang berlaku
di dunia. Aku dan Ren tak terlahir dari akar yang sama dan kami hidup
dibesarkan dengan cara yang berbeda. Meski itu adalah hal yang wajar, tapi
ketika itu menjadi topik pembicaraan kami maka itu akan menjadi kehancuran dari
kebersamaan kami.
***
“Well, tempat ini gak buruk.. Kamu emang
gak bisa diragukan”, aku memuji Ren atas pilihannya untuk tempat kami berkemah
menikmati fenomena dark sky yang
terjadi malam ini.
“Api unggunnya
udah siap. Kamu udah pake kaos kaki mu?” Ren cukup tahu banyak tentang ku, tak
terkecuali dengan telapak kaki yang begitu sensitif dengan udara dingin.
Aku mengangkat
sebelah kaki ku untuk menunjukkan kaki ku yang sudah terbalut kaos kaki blaster black-white.
Selagi Ren
menyiapkan matras dan sebagainya di dalam tenda, aku berputar memandangi langit
yang dipenuhi jutaan bintang yang berkilau. Aku mencoba mengingat kembali kapan
kali pertama aku begitu mencintai langit dan segala hal tentangnya. Tapi itu
terasa mustahil karena untuk beberapa alasan, aku mulai melupakan banyak hal
yang seharusnya tak mudah untuk dilupakan.
“Tempat ini
cukup jauh dari kota dan sepertinya disini gak terlalu ada polusi cahaya yang
bisa mengurangi view dark sky.”
Ren memberikan
ku secangkir teh hangat dan tanpa berpikir akupun langsung meminumnya.
Aku sadar teh
yang diberikan Ren adalah ocha (teh
hijau Jepang) dan aku cukup membencinya karena rasanya yang pahit, “Ocha?! Haruskah??”
Ren tersenyum
tipis tanpa memandang ku, “Jangan banyak protes.”
Tanpa berkata
lebih lagi, aku memilih berusaha untuk menikmati ocha sembari menatap bintang sebagai pemanisnya.
Sejak aku
sadar aku mencintai langit dan segala hal tentangnya, aku begitu menginginkan
saat-saat seperti ini. Menatap jutaan bintang sambil berbaring diatas hamparan
rumput luas bersama seseorang yang begitu mengerti dan memahami siapa aku. Dan sekarang
aku bersama Ren, seseorang yang tak mudah untuk ku jelaskan tapi begitu
berarti. Aku sangat bersyukur atas segala waktu dan banyak hal tentang kami
yang dituliskan Tuhan dalam hidup kami. Jika aku diberikan satu permintaan
dalam hidup ku, aku hanya ingin selalu bersama dengan orang-orang yang ku
sayang.
“Ren, kimi ga suki.”
“Oremo daisuki dayo.”
Dibawah langit
yang teramat indah ini, yang lukisannya tak selalu bisa ditangkap mata, sela jemari
kami saling terisi satu sama lain. Sejauh ini tak ada yang berjalan dengan
mulus ataupun berjalan dengan jauh dari prediksi. Aku dan Ren merasa
mengendalikan waktu dengan cukup baik dan aku berharap kami bisa membekukan
waktu indah kebersamaan kami ini selama yang kami inginkan. Jika keberuntungan
ini masih milik kami, maka tak ada harapan lain selain kebersamaan kami.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar